LPM Psikogenesis

LPM Psikogenesis
LPM Psikogenesis
follow:

Sumber: hipwee.com
Begitu banyak manusia yang
terlalu sombong di muka bumi ini, tak terkecuali aku. Aku yang seharusnya
mengenali maksud alam, sayangnya keangkuhan dan keterlenaanku akan hidup yang
begitu sempurna membuatku mengabaikannya dan menjadi tersiksa dengan
pilihan-pilihan yang kubuat sendiri tanpa mengikutsertakan pertanda alam yang
sudah memberiku petunjuk diawal-awal.

Ia telah menunjukkan bahwa ia bisa bertindak semaunya,
tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya namun itulah alam, punya cara
sendiri dalam menyampaikan pertanda dari Tuhan untuk hamba-hamba-Nya. Yah,
itulah cara Tuhan menyayangi umat-Nya, hanya saja kita yang begitu masa bodoh
akan kasih sayang Tuhan terkadang mengadili-Nya dengan berkata Ia tak adil.
Padahal tidak seperti itu, kitalah yang terlalu naif mengatakan bahwa kita
sebenarnya sangat membutuhkan isyarat alam dalam menentukan langkah
selanjutnya.

•••

Sudah lima menit yang lalu kita mengusaikan perbincangan
telepon yang diakhiri dengan pertengkaran kecil mengenai siapa yang harusnya
menutup telpon lebih dulu dan berakhir dengan aku yang harus mengalah, namun
tak benar-benar mengalah, di mana ponselku masih setia terhubung dengan
ponselmu. Aku masih ingin mendengar suaramu lebih lama. Tapi apa yang kudapati?
Suara seorang perempuan yang tak terdengar seperti ibumu menyuruhmu
beristirahat?? Bahkan perbincangan kita selama lebih dari dua jam tak cukup
membuatmu yakin untuk menceritakan apa yang tengah kau alami dan siapa dia.
Haha, memangnya aku ini siapamu?

Dua bulan bukanlah waktu yang sedikit bagi sepasang
kekasih untuk menjalani hubungan jarak jauh. Tapi itu tak jadi masalah bagi
kami, sebab kami sudah sepakat untuk menceritakan setiap apa yang kami alami di
kota kami masing-masing. Hingga perbincangan sampai pada kau yang menebak apa
yang tengah kualami.
          
“Ah, gak mau rindu lagi deh. Nanti mata kamu botak,
kan gak cantik lagi,” kalimat yang entah sudah berapa kali kau utarakan
ketika kuceritakan jika bulu mataku luruh mungkin karena ada seseorang yang
tengah merindukanku, yaitu kau.
     
“Jadi kalau mataku botak kamu gak akan suka
lagi?” ucapku berpura-pura merajuk. Kaupun pasti sudah tau jika aku
berpura-pura tapi kau seakan-akan tak mengetahui.
      
“Gak sayang… tapi nanti kamu gak bisa cari
laki-laki yang kayak aku lagi, hehe” terdengar nada sedih terselip
diucapanmu yang tak akan bisa tertutupi hanya dengan tawa khasmu diujung
kalimat.
            
“Maksud kamu apa?” aku sedikit kecewa dengan
apa yang kau katakan. Setelah aku tahu, bahwa kau tahu aku hanya
menginginkanmu, dan tak akan berpaling walau ratusan kilometer tak pernah
berpihak pada kita.
            
“Eh gak kok, maaf yah sayang,” hatiku selalu
saja lunak jika kau mengucapkan kata itu. Seperti sebuah mantra yang
kekuatannya mampu mencairkan setiap apa yang mencoba beku.
       
Semakin hari semakin banyak bulu mata yang luruh mungkin
sebab rindu diam-diam sudah beranak cucu, namun belum juga diberi izin temu.
Semua telah ranggas bukan sebab rindu saja, namun lebih ke suatu hal yang biasa
disebut penyakit paling mematikan, yah aku mengalaminya sejak dua tahun yang
lalu, dan kini tak ada lagi tanda yang bisa kudapat jika suatu waktu ada rindu
yang ingin kau utarakan selain melalui mulutmu. Hingga bukan hanya mataku yang
berangsur botak, namun juga kepalaku tak lagi memiliki mahkota yang dulu
menjadi suatu kebanggaan untukku.

Sudah dua hari pula tak ada kabar darimu tersampir pada
benda pipih dengan layar cahaya yang terpajang utuh bias dirimu mengenakan
seragam putih andalan yang mampu menambah kadar pesonamu. Mungkin kau pergi
dariku sebab gadis yang dulu begitu sempurna itu kini tak lagi bisa kau
pamerkan diantara teman-temanmu. Jika benar itu alasanmu kumaklumi karena
akupun sudah merasa tak pantas untuk kau kasihi. Sudah terlalu banyak bagian
indah hidupmu yang kau relakan sebagian hanya untukku waktu itu.

Perlahan gelap menguasai mataku, hanya gaduh suara ayah
dan ibu yang masih terdengar pilu ditelingaku. Samar-samar suaramu juga
terselip diantara tangis ibu. Ah, pasti ini hanya mimpi.

•••

Perlahan aku bagun dan sadar. Mengetahui kenyataan pahit
bahwa kau pergi dengan alasan yang tak dapat kumaklumi, bukan karena tak pantas
lagi aku untukmu atau ada gadis lain yang mampu utuhi hatimu. Namun lebih ke apa
yang sudah kulakukan. Aku penyebab kau pergi lebih jauh dari kota yang sering
kau sebut sebagai negeri antah-berantah, sebab tak ada aku di sana. Namun kau
pergi lebih jauh dari itu. Ke tempat dimana tak seharusnya kau kesana, sebab
disana tak ada aku, pun tak ada waktu yang mampu mempersempit jarak kita.

Berbicara soal jarak, kau kini lebih dekat padaku, bahkan
lebih dekat dari diriku sendiri. Kau ada disini, di dadaku. Tak ada lagi bulu
mata yang luruh bersama debaran merdu yang kau ciptakan, sebab kau adalah aku
dan aku adalah kau. Alam bisa saja memisahkan raga kita. Namun hatimu tetap aku
si pemiliknya. Sampai kapanpun aku akan menjaganya. Bahkan ketika kau berkata,
bulu mataku harus luruh untuk laki-laki selain dirimu.
*Ditulis oleh Dwi Ridhayanti Amaliah

psikogenesis.org

psikogenesis.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts