Sumber: Pinterest
Pintu terbuka mataku langsung terpana pada satu wujud keindahan dunia sedari dulu. Sejak SMA, Laras selalu lebih indah dari gambaran dewi fortuna bagiku. Sekarang ia tak jauh beda dari saat aku pertama melihatnya, fitur wajah remajanya sudah sedikit menyamar. Riasan tipis dan simpel yang ia kenakan membuat siapa saja akan mengira ia masih pelajar SMA zaman sekarang (kau tahu remaja sekarang begitu melek riasan wajah) padahal sudah memasuki kuartal dalam 100 tahun.
Wangi shampoo melon mendesak masuk indra dan menusuk cuping hidungku ketika melewatinya dan mengambil posisi duduk tepat di belakangnya. Wangi yang sejak dulu jadi favoritku. Wangi saja sudah membuatku melayangkan diri pada masa lalu dan bernostalgia tentang bagaimana aku selalu mendambakan seorang wanita. Wanita dengan rambut sebahu yang mandiri, supel, banyak bicara, taktis, cekatan, namun secara bersamaan ia juga memiliki sifat keibuan yang tak bisa kujelaskan dari mana. Intinya, sejak dulu aku selalu berdoa dan berharap ialah yang akan membuatku utuh.
Aku selalu suka dengan perhatian, ocehan, dan omelannya, bagiku seperti melodi indah yang wajib kudapatkan setiap hari. Makanya, aku suka bikin Laras ini hanya memperhatikanku saja, salah satu caranya adalah membuat ia ‘ngomel’. Ya, kuakui, dulu aku terlalu kekanak-kanakan apalagi dengan cara kabur piket kelas. Tapi semoga kali ini Tuhan memberiku kesempatan untuk menjadi pria yang pantas untuk Laras.
Acara reuni adalah acara paling membosankan sebenarnya karena berisi acara pameran pencapaian, tapi jika bayarannya bertemu dengan Laras, akan kusiapkan apapun untuk hari ini. Itulah alasannya aku ada di sini.
Aku menemui Dandy, kukatakan padanya bahwa rasaku pada Laras masih sama dan itulah alasanku melajang sampai saat ini. Ia terkejut entah dibuat-buat atau memang benar terkejut, tapi anehnya sedetik kemudian kutemukan ia memincingkan matanya. Kurasa definisinya adalah ‘smirk‘. Aku keringat dingin dan curiga memikirkan apa rencana gila yang ada di kepalanya. Semoga tidak memalukan.
Aku berusaha melayangkan pikiranku dengan makan di meja sendirian. Aku sudah tidak punya energi se-pecicilan dulu. Aku hanya makan dan menonton teman-temanku berbagi dan menyombongkan dirinya sendiri. Tapi, di ujung mataku ada yang mencurigakan. Kulihat Dandy menghampiri Laras yang bergerombol dengan teman-teman dekatnya. Degup jantungku tak karuan atau mungkin akan lompat keluar dari kerongkongan? Entah. Intinya ini aneh dan siagaku naik. Semoga tidak memalukan.
Tapi semoga hanya semoga. Tepat setelah makanku selesai, jam 18.20, Dandy membawa Laras ke depanku. “Aji, anak-anak udah pada mau balik, lo ke arah blok M bukan sih?” tanya Dandy sok biasa saja. Dandy sudah beralih profesi jadi mak comblang kah?
“Iya bener, gua juga mau balik, nih,” jawabku sekenanya. “Nah, cocok, lewatin stasiun Fatmawati kan? Lo bisa anterin Laras ga? Gua mau ngapelin cewe gua soalnya,” Dandy memang benar-benar ringan rahang. Dandy berkata demikian sambil mengedipkan satu matanya. Orang gila. “Boleh, berangkat sekarang?” jawabku singkat dan Laras hanya mengangguk sebagai jawab. Aku beranjak dari duduk dan jalan mendahului Laras dan Dandy, kau tahu tujuanku - menyembunyikan wajahku yang memerah panas seperti kepiting rebus.
Kurasakan Laras mengekoriku pada akhirnya dengan berusaha menyejajarkan langkah ke tempat parkir motor. Motorku kulajukan 40km/jam membelah macetnya jam pulang kantor di Jakarta Selatan. Perjalanan sangat sunyi. Aku pun Laras rasanya tak punya bahan bakar atau bara kehangatan. Sudah terlampau beku untuk berbasa-basi.
Tapi semesta sepertinya menjebakku. Stasiun Fatmawati tidak jauh lagi tapi hujan turun dengan deras. Kulihat Laras yang sedang menumpang dari kaca spion, cemas terpancar dari raut wajahnya. Aku menepi untuk berteduh di bawah Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) Fatmawati. Ia bergegas turun dan berteduh sedangkan aku…, aku juga ingin berteduh tapi kurasa Laras enggan ada aku berada di sekitarnya.
Di pinggir jalan dan berdoa agar hujan segera berhenti sambil merasakan hujan membasahi tangan kananku. Laras di belakangku terdiam dengan cukup lama. Diam yang memakanku habis sampai tulang. Tapi kusadari hujan takkan berhenti dengan begitu saja sampai akhirnya lampu jalanan nyala dan semua mobil yang lewat menyalakan lampu sorotnya. Tiba-tiba kudengar omelan Laras menyentil gendang telingaku. Omelan yang kurindukan. “Kita mau tunggu sampai patung ayam bertelur?” tanyanya.
Omelan yang sudah 7 tahun kurindukan, omelan yang membuatku hidup. Kubalaskan padanya bahwa aku mendengar omelannya. Kuajak Laras untuk menembus hujan tapi sebelum berangkat, aku berdoa sekali lagi dan bersalaman pada hujan agar segera berhenti. Aku meminjamkannya jaket abu-abu milikku agar ia tidak terlalu masuk angin diperjalanan. Tuhan rasanya merestuiku, hujan mereda ketika kutancapkan gas membelah jalan raya ini. Ajaib sekali.
Aku tak sengaja melajukan motorku menginjak lobang jalan. Sial yang kutangkap dari spion adalah reaksi terkejut Laras yang hampir terbang dari belakangku. Langsung saja kutarik kedua tangannya melingkar di perutku. Ini gerakan refleks. Percayalah, aku hanya takut Laras kenapa-kenapa.
Jalan begitu ramai tapi aku dan Laras masih beku. Sampai di stasiun Laras langsung turun dan melenggang masuk ke stasiun. Aku tahu ia memburu kereta di jam pulang kantor ini jadi itu bukanlah masalah. Namun, masalahnya ia membawa pulang jaket kesayanganku. Aku tidak punya kontak Laras, Dandy orang sialan itu adalah satu-satunya orang yang bisa kuhubungi terkait hal ini.
Tapi otakku menari aneh, ia malah memikirkan skenario apa yang akan terjadi besok ketika bertemu Laras nanti. Mungkinkah ia akan menemuiku untuk mengembalikan jaketku? Kuharap iya. Tapi apakah baiknya kurelakan saja jaketku kesayanganku itu pada orang favoritku? Kurasa Laras enggan menemuiku lagi…, Monologku tidak habis dengan skenario ‘bagaimana jika’ tapi tetap saja kudoakan agar aku bisa mencium wangi shampoo melon itu setidaknya sekali lagi.
-rajinmtsjk
One thought on “Dari Aji untuk Laras - 12082024”
Kak kapan lanjutannya??? Sukaaakk sama bahasanya