Sumber: Pinterest
Sekarang aku bersama Aji berteduh dari hujan di bawah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Fatmawati. Sial. Padahal sisa sedikit lagi jarakku ke Stasiun MRT terdekat namun sekarang harus berebut tempat minim cipratan air hujan bersamanya- musuh besar piket kelas. Meski kejadiannya sudah tujuh tahun lalu, aku masih tak sudi berbagi waktu dengannya. Kalau saja bukan karena Dandy (kawan sebangku ku dulu) yang menyuruhku menumpang sampai stasiun dengan kalimat ‘Kau bisa percaya pada Aji. Dia sudah berubah, kau tidak akan melempari dia sapu lagi karena tingkahnya’, aku tak akan sampai sebegini jengah menunggu tetes terakhir hujan turun. Sedetik saja bersama Aji sudah bikin aku mati kepanasan. Terbakar. Kalau perlu jadi abu sekalian.
Nampaknya semesta tidak berpihak padaku. Hujan makin deras. Tempat minim percikan makin tipis. Aku mundur mendekat ke dinding. Persetan jika ada kecoa di sana. Aji masih di tempatnya, menenteng helm merah di tangan kanannya yang berada dilipat masuk ke belakang siku tangan kirinya. Posisi aneh. Aji memang aneh.
Aku melihat punggungnya tanpa ada keinginan untuk berbicara padanya. Biar saja kita berdua mati dimakan sunyi. Itu bayaran karena suaraku habis meneriakinya sewaktu sekolah dulu. Jangan salah paham dulu, aku tak mungkin marah tanpa alasan. Muara dari perselisihan ini adalah Aji Si Kolektor Pulpen. Aku masih ingat dia mangkir dari piket kelas beberapa kali hanya untuk bermusafir mencari pulpen dari ruang koridor kelas 10, 11, bahkan 12. Itu hal sepele yang jadi biang dendam kesumat ini. Oh iya, Aji bertingkah seperti ini selama 3 tahun. Iya, seluruh masa SMA-nya ia menekuni profesi kurang kerjaan itu.
Aji masih dengan pandangan ke jalan, dan aku memandang punggungnya. Aku mau marah. Sudah 30 menit waktu bumi dihabiskan menunggu hujan dengan bego. Apa lagi bersama Aji. Aku sudah ketinggalan dua kereta. Ditambah kenyataan Aji di sekitarku. Kalau begini terus, jadilah larut malam aku sampai di rumah nanti. Aku sudah tidak tahan bersama Aji. Oke, sudah cukup mati dalam diamnya, aku harus pulang.
Sejujurnya enggan sekali untuk berbicara duluan. Gengsi. Tapi harus. “Ini hujannya gaakan reda” aku berusaha berjalan mendekat agar suaraku terdengar oleh Aji Budeg ini (ini kesimpulanku soalnya dari dulu diteriakin untuk memegang pengki yang becus ia masih juga tidak mengerti). Aji bergeming. Aku terpaksa harus menyentuhnya sedikit di pundaknya. “Woi! Kita mau nunggu hujan sampai patung ayam bertelur?” Aku sengaja menaikkan sedikit suaraku barangkali kesimpulanku benar - Aji mungkin benar-benar budeg.
Aji menoleh perlahan. “Gue denger, kok. Jadi, mau tembus hujan saja?” kemudian Aji seakan meggenggam hujan seperti bersalaman. Bikin perjanjian dengan alam, kah? Pikirku. Sekali lagi aku heran kegiatan ajaib apa lagi yang mampu ia lakukan? Jangan-jangan sebentar lagi ia akan memberi sesajen agar hujan berhenti.
Ia memberikanku jaket abu-abunya yang anti air dan menyisakan kemeja hitam melekat di badannya. Aku bertanya-tanya. Menyadari alis mataku tertaut dan terpincing melihat gerak geriknya, Aji akhirnya berbicara. “Eh, Ra, lo harus syukur hujan mau kompromi dengan sedikit mereda biar kita bisa kejar MRT berikutnya. Sekarang biar lo gak sakit, pake jaket gua terus kita ngebut” selekas titik terdengar, kukenakan jaketnya dan bersiap menaikkan diriku ke moge milik Aji. Ini juga hal yang bikin rese. Tapi mengapa langit berpihak pada Aji? Hujan mereda.
Aji memakai helmnya kemudian menutup kacanya. “Pegangan. Gue mau ngebut,” motor perlahan jalan kemudian kecepatannya bertambah membelah padatnya Fatmawati dikala hujan. Tidak sengaja motor menginjak kubangan membuat aku hampir kejengkang terbang dan jadi satu dengan lumpur. “Maaf. Makanya pegangan bego,” Aji menarik tanganku melingkar di bahunya. Sialan buaya kelas kakap. Tapi dari pada kejengkang lagi, lebih baik aku nurut. Tidak akan lama lagi aku sampai di stasiun. Akhirnya.
Tidak pernah terpikirkan bahwa Aji akan terlihat sedewasa ini. Aku bermonolog di sepanjang jalan dengan banyak membandingkan Aji Si Kolektor Pulpen dengan Aji di JPO Fatmawati. Memang, sih, sudah berumur seperempat abad pastinya dewasa, namun tetap saja bentukan Aji hari ini tak pernah terpikirkan saat dulu. Apalagi saat aku melihat cengiran kuda miliknya merekah dikala genggaman tangan kanannya sedang banyak rejeki.
Aku turun dari motor dan bilang terima kasih lalu lari ke stasiun begitu terburu-buru. Aku meninggalkan Aji di tempat drop off. Sebenarnya tidak terburu-buru, aku hanya tidak biasa cepika-cepiki sama orang lain. Apalagi dengan seorang Aji. Rasanya pasti akan sangat canggung.
Aku berusaha segera mencari tempat duduk di gerbong, tetap saja aku tidak kedapatan. Maklum, jam pulang kantor. Lalu aku memasang earbuds ku sambil tetap berpegangan pada tiang dekat pintu. Oh ternyata aku memiliki pesan belum terbaca dari Dandy. Isinya pesan terusan yang tertulis “Si ketua kelas lu lupa balikin jaket gue, tolong sampein buat disimpan aja dulu, balikin lain kali” dan pesan suara. Saat ku putar langsung saja terdengar suara lambe milik Dandy “ANJERRR, LO SENGAJA YA BAWA JAKET AJII?? LO UDAH KEPINCUT? ANJER GUE BERHASIL!” aku mendengarnya jadi senyum sendiri dan mulai menyadari aroma khas jaket Aji. Citrus dan lavender yang cerah. Astaga, aromanya sangat menyenangkan, segar, dan yang terpenting aku mau memeluknya lagi.
Eh tidak, yang terpenting adalah aku harus segera mengembalikan jaket ini. Kapan ya bagusnya aku dan Aji bertemu lagi? Aku tidak bisa menahan cengiran lebarku ketika merencanakan dan membayangkan pertemuan kami berikutnya.
Aku memang peka terhadap wewangian, tapi jarang sekali kutemui wangi seperti ini. Aku deklarasikan bahwa aku suka wangi citrus, lavender, dan hujan atau simpulkan saja bahwa wangi milik Aji. Tak sabar bertemu mu lagi Ajinendra Abimanyu.
-Rajinmtsjk