Sumber: Pinterest
Masih teringat dialog kita di puncak bukit itu. Tepatnya di salah satu bukit di Bandung. Kita yang masih lugu, wajah tanpa kerutan berarti, pakaian seragam SMA, dan romansanya. Kita benar-benar saling cinta pada saat itu. Akan kubantah semua manusia yang berkata cinta masa remaja adalah cinta monyet. Karena buktinya aku menemukanmu di remajaku.
Saat itu bulan Maret, semua orang mulai sibuk dengan Ujian Sekolah (US), termasuk aku dan kamu. Belajar jadi kegiatan utama dan tidak ada waktu untuk bermanja menghabiskan waktu menatap senja. Hubunganku merenggang.
Di salah satu Sabtu, setelah sekolah setengah hari dan pengumuman kelulusan jalur undangan kita mengunjungi puncak bukit itu, kau ingat? Dialognya masih membekas, sekali lagi, sangat membekas. Aku menatapnya dan menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga seraya berdoa agar ini bukanlah kali terakhirku melihatmu. “Ayo bertahan sekuat tenaga, berangkali di luar sana rintangan kita tidak akan seluas samudera” ucapmu menahan tangis sambil memegang kedua tanganku. Aku jujur tak kuat melihat kedua manik matamu. Mata yang selalu jadi alasanku menguasai kehidupan lalu kuhadiahkan padamu jika mampu. Namun nampaknya aku tidak mampu.
“Erik, pastikan di dunia yang lain kamu temukan aku dulu. Pastikan di dunia yang lain kita tidak akan berpisah,” akhirnya air matanya lolos dari mata kanannya diikuti isak tangis yang tak bisa dibendungnya. Aku memalingkan pandangan dan mulai menarik kedua tanganku dari genggamannya. Bahunya bergetar lebih berat, aku tak sanggup melakukan apapun melainkan pergi dari pandangannya. Meninggalkan jejak dan kamu sendirian di belakang.
Aku melirik kalung Rosario di leherku dan menatapnya lamat-lamat. Ini pahit buruk yang harus kita telan. Ini langkah terberat ku, Dinda. Nyatanya di dunia ini, rintangan kita memang seluas samudera. Kita memang tidak mungkin dan cinta tidak harus memiliki. Meninggalkanmu adalah salah satu caraku melindungimu dan mencintaimu.
Kejadian itu sudah hampir satu windu yang lalu. Rasanya baru kemarin. Rasanya begitu asing dunia tanpamu. Sejak hari itu tak pernah juga kudengar kabar darimu. Entah di mana kamu menyelesaikan studi atau sudahkah kamu menikah misalnya. Dunia seperti sengaja menyembunyikanmu dariku.
Tapi hari ini lain dari hari biasa. Aku akhirnya melihatmu. Di pojok toko buku dan akhirnya aku membatin dan merasa perang telah usai. Perang atas identitas sendiri, perang atas kungkungan religi.
Kamu menggunakan gamis corak bunga biru yang begitu indah, kerudung panjang senada yang membuat wajahmu yang manis begitu teduh dan penuh tenang. Sangat berbeda dari dirimu sewindu yang lalu. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku akhirnya lega. Kulihat juga lelaki berpakaian rapi, baju koko dan celana kain di sampingmu. Kamu menggandeng lelaki itu mesra dan aku tidak pernah lebih bahagia dibanding hari ini. Bahagia bahwa kamu akhirnya menemukan kebahagiaanmu selain aku.
“Kau sampai di sana”
Kini dunia tak lagi menyakitimu ‘kan, Dinda?
“Ku sampai di sana”
Senang rasanya meninggalkanmu, untuk bahagiamu, tanpa bangkang kepada Tuhanmu.
-Rajinmtsjk