LPM Psikogenesis

LPM Psikogenesis
LPM Psikogenesis

Di Antara Rasa Matcha dan Rasa yang Tertinggal

Sumber: Pinterest

Di sebuah kafe kecil yang menyajikan aroma kopi dan teh yang memanjakan hidung, Acha duduk di pojok ruangan, di dekat jendela yang menghadap ke jalanan yang ramai. Di hadapannya, secangkir matcha latte dengan buih lembut di atasnya mengeluarkan uap tipis yang hangat. Warna hijau lembut dari minuman itu seolah menjadi teman setia bagi Acha. Setiap kali hatinya terasa gundah, matcha selalu menjadi pelariannya.

“Ikhsan, kamu ingat nggak saat pertama kali kita ke sini?” suara Acha terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Di kursi di depannya, Ikhsan tersenyum. “Tentu ingat, Cha. Waktu itu, kita habis lari pagi di taman, dan kamu ngotot mau mampir ke kafe ini, meskipun kita belum sarapan.”

Acha tertawa kecil, ingatan itu begitu nyata di benaknya. “Iya, aku nggak bisa nolak matcha di sini. Kamu aja yang selalu heran kenapa aku nggak pernah pesan kopi, padahal kamu bilang kopi di sini enak.”

Ikhsan mengangguk pelan, pandangannya tetap pada Acha. “Karena aku tahu, kamu suka yang lain. Kamu nggak harus suka kopi, hanya karena aku suka.”

Mendengar itu, hati Acha terasa hangat. Ia menatap Ikhsan dengan lembut, mengingat betapa bahagianya mereka dulu. Mereka berbagi cerita, tawa, dan mimpi. Namun, semuanya berubah saat Ikhsan bertemu dengan seseorang yang baru.

“Ikhsan, bagaimana kabar dia?” tanya Acha, suaranya sedikit gemetar. Ia tahu pertanyaan ini akan membawa perih ke hatinya, tapi ia tak bisa menahan diri.

“Apa maksudmu, Cha?” Ikhsan menatapnya bingung.

“Kabar pacar barumu…,” Acha melanjutkan, mencoba menyembunyikan perasaan getir di balik senyumnya.

“Oh, dia baik. Kami bahagia,” jawab Ikhsan singkat, tanpa ada tanda-tanda rasa bersalah atau penyesalan.

Acha terdiam. Senyum di wajahnya memudar perlahan, berganti dengan kekosongan. Sejak Ikhsan memiliki kekasih baru, hubungan mereka berubah. Mereka masih sering bertukar pesan, berbicara panjang lebar tentang banyak hal, tapi selalu ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.

Acha tahu, ia tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Cinta tak bisa dipaksakan, dan tak ada yang salah dengan perasaan Ikhsan yang berubah. Tapi tetap saja, rasa rindu dan perih itu terus menyelimuti hatinya.

“Kamu tahu, Cha, aku sering ke sini sendiri,” kata Ikhsan tiba-tiba, memecah keheningan.

“Kamu serius?” Acha menatapnya heran.

“Iya, kadang aku duduk di sini dan berharap kamu muncul. Tapi sekarang aku tahu, kita nggak bisa kembali seperti dulu.”

Acha tersenyum pahit. “Aku juga sering ke sini, sendirian. Tapi mungkin… mungkin aku cuma belum bisa benar-benar melepaskan.”

Ikhsan menatapnya lama. “Acha… kamu harus bisa bahagia, dengan atau tanpa aku.”

Kata-kata itu berputar-putar di kepala Acha, menekan perasaannya lebih dalam. Ia tahu Ikhsan benar, tapi hatinya menolak untuk sepenuhnya menerima kenyataan itu.

“Terima kasih, Ikhsan,” jawabnya akhirnya, suaranya pelan.

Ikhsan tersenyum padanya, senyum yang selalu membuat Acha merasa nyaman. Namun, ketika Acha berkedip, senyum itu memudar, dan yang tertinggal hanyalah kursi kosong di hadapannya. Ia menatap ke sekeliling kafe, mencari-cari sosok yang tadi menemani percakapan mereka. Tapi tidak ada siapa-siapa.

Acha tersentak, matanya membulat. “Ikhsan…?”

Tapi hanya ada dirinya sendiri di pojok kafe itu, ditemani secangkir matcha yang kini sudah mulai mendingin. Tiba-tiba semua menjadi jelas di benaknya. Ikhsan tidak pernah ada di sana. Semua percakapan itu, semua kenangan yang ia ulang-ulang, hanya terjadi dalam pikirannya sendiri.

Acha menunduk, menatap secangkir matcha di hadapannya. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Ia sadar, bahwa selama ini, ia hanya berbicara dengan bayangan dari masa lalu, dengan kenangan yang ia ciptakan sendiri.

“Kamu benar, Ikhsan. Aku harus bisa bahagia… dengan atau tanpa kamu,” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Dengan tangan gemetar, ia mengangkat cangkir matcha itu, menyesapnya perlahan. Rasa manis yang lembut itu memenuhi mulutnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekosongan yang kini ia rasakan.

Hari itu, di kafe kecil itu, Acha membuat keputusan besar. Ia harus berhenti mengejar bayangan yang tak mungkin kembali. Dan meskipun berat, ia tahu bahwa ia harus melangkah maju. Tidak ada lagi percakapan semu, tidak ada lagi bayangan Ikhsan. Yang ada hanyalah dirinya dan matcha yang setia menemaninya.

Sembari menatap keluar jendela, Acha menarik napas dalam-dalam. Dunia di luar sana terus berputar, dan ia harus menemukan cara untuk mengikuti ritme itu kembali. Mungkin butuh waktu, tapi ia yakin, suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaannya sendiri.

~Rain

psikogenesis.org

psikogenesis.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts