Sumber: blog.lazada.co.id |
Budaya dan agama mewakili dua aspek yang paling khas dari sifat manusia. Beberapa hasil penelitian telah mendukung gagasan bahwa religiusitas dapat memotivasi perilaku prososial, bahkan ketika reputasi dan timbal balik kepedulian telah diminimalkan. Sebagai contoh, dua eksperimen yang menunjukkan bahwa priming
terhadap konsep-konsep yang berhubungan dengan Tuhan meningkatkan kemurahan hati terhadap orang asing dalam permainan ekonomi.
terhadap konsep-konsep yang berhubungan dengan Tuhan meningkatkan kemurahan hati terhadap orang asing dalam permainan ekonomi.
Untuk menyelidiki peran religiusitas terhadap
perilaku prososial, sangat diharapkan untuk fokus terhadap praktek intrinsik keagamaan yang aktif melibatkan individu dan yang sesuai untuk manipulasi eksperimental. Salah satu praktek
tersebut adalah do’a. Doa secara umum ada di semua agama, dan merupakan salah satu bentuk paling pusat dan
secara universal dibenarkan
dalam perilaku keagamaan.
perilaku prososial, sangat diharapkan untuk fokus terhadap praktek intrinsik keagamaan yang aktif melibatkan individu dan yang sesuai untuk manipulasi eksperimental. Salah satu praktek
tersebut adalah do’a. Doa secara umum ada di semua agama, dan merupakan salah satu bentuk paling pusat dan
secara universal dibenarkan
dalam perilaku keagamaan.
Orang-orang sering berdoa ketika dalam situasi dimana mereka sedang mengalami perasaan negatif yang intens, seperti kemarahan, kesedihan, atau takut. Kemararahan merupakan suatu emosi yang
menimbulkan reaksi pada fisik seperti meningkatnya denyut jantung, tekanan
darah, serta tingkat adrenalin. Marah merupakan pola perilaku yang dirancang
sebagai peringatan kepada para pengganggu agar menghentikan perilaku mengancam
mereka. Marah meliputi sikap brutal, benci, mengamuk, kesal hati, bermusuhan,
tindak kekerasan, dan kebencian patologis.
menimbulkan reaksi pada fisik seperti meningkatnya denyut jantung, tekanan
darah, serta tingkat adrenalin. Marah merupakan pola perilaku yang dirancang
sebagai peringatan kepada para pengganggu agar menghentikan perilaku mengancam
mereka. Marah meliputi sikap brutal, benci, mengamuk, kesal hati, bermusuhan,
tindak kekerasan, dan kebencian patologis.
Agresi ialah tingkah laku yang diarahkan pada tujuan untuk secara
sengaja menyakiti makhluk hidup lainnya,
baik secara fisik maupun psikis. Dalam hal ini, apabila menyakiti orang lain
dikarenakan unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai perilaku agresi. Agresi dapat dilakukan secara verbal. Perusakan
barang dan perilaku destruktif juga termasuk sebagai perilaku agresi. Istilah
agresi itu sendiri terkadang disamakan dengan agresif, dimana agresif merupakan kata sifat dari agresi.
sengaja menyakiti makhluk hidup lainnya,
baik secara fisik maupun psikis. Dalam hal ini, apabila menyakiti orang lain
dikarenakan unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai perilaku agresi. Agresi dapat dilakukan secara verbal. Perusakan
barang dan perilaku destruktif juga termasuk sebagai perilaku agresi. Istilah
agresi itu sendiri terkadang disamakan dengan agresif, dimana agresif merupakan kata sifat dari agresi.
Dr. Ryan H. Bremner, Dr. Brad J. Brushman, dan para ahli lainnya
melakukan sebuah studi yang diberi judul “Pray
for Those Who Mistreat You: Effects of Prayer on Anger and Aggression”. Studi
tersebut memprediksi bahwa doa dapat mengurangi kemarahan dan agresi dalam konteks hubungan timbal balik sangat tidak mungkin. Studi tersebut
dipublikasikan dalam “Personality and
Social Psychology Bulletin”.
melakukan sebuah studi yang diberi judul “Pray
for Those Who Mistreat You: Effects of Prayer on Anger and Aggression”. Studi
tersebut memprediksi bahwa doa dapat mengurangi kemarahan dan agresi dalam konteks hubungan timbal balik sangat tidak mungkin. Studi tersebut
dipublikasikan dalam “Personality and
Social Psychology Bulletin”.
Studi tersebut mencakup tiga eksperimen yang dilakukan secara terpisah, yang menguji
hipotesis bahwa mendoakan orang lain secara signifikan dapat meredakan amarah
dan agresi setelah diprovokasi. Eksperimen
pertama merupakan pengujian awal hipotesis bahwa doa mengurangi kemarahan. Partisipan pada eksperimen pertama ini yaitu
53 orang mahasiswa, dimana 31 orang diantaranya adalah wanita. Partisipan diminta untuk menyelesaikan Profile
of Mood Scales (POMS), yang mengukur
kemarahan (item 7), kelelahan (6 item), depresi (8 item), semangat (5 item), dan ketegangan (6 item). Semuanya dinilai menggunakan skala (1 = tidak sama sekali hingga 5 = sangat). Selanjutnya, peserta diberi waktu 5 menit untuk menulis sebuah esai tentang suatu peristiwa yang membuat mereka merasa sangat marah. Setelah itu, partisipan diminta untuk
mengevaluasi essay parter “bayangan”
dan essay partisipan dievaluasi oleh
partner “bayangan”nya. Setiap partisipan memberikan penilaian negatif dari
hasil evaluasi esai tersebut.
Penilaian negatif tersebut ditunjukkan agar membuat orang menjadi sangat marah.
hipotesis bahwa mendoakan orang lain secara signifikan dapat meredakan amarah
dan agresi setelah diprovokasi. Eksperimen
pertama merupakan pengujian awal hipotesis bahwa doa mengurangi kemarahan. Partisipan pada eksperimen pertama ini yaitu
53 orang mahasiswa, dimana 31 orang diantaranya adalah wanita. Partisipan diminta untuk menyelesaikan Profile
of Mood Scales (POMS), yang mengukur
kemarahan (item 7), kelelahan (6 item), depresi (8 item), semangat (5 item), dan ketegangan (6 item). Semuanya dinilai menggunakan skala (1 = tidak sama sekali hingga 5 = sangat). Selanjutnya, peserta diberi waktu 5 menit untuk menulis sebuah esai tentang suatu peristiwa yang membuat mereka merasa sangat marah. Setelah itu, partisipan diminta untuk
mengevaluasi essay parter “bayangan”
dan essay partisipan dievaluasi oleh
partner “bayangan”nya. Setiap partisipan memberikan penilaian negatif dari
hasil evaluasi esai tersebut.
Penilaian negatif tersebut ditunjukkan agar membuat orang menjadi sangat marah.
Selanjutnya, partisipan membaca surat kabar
mengenai seorang mahasiswa bernama Maureen yang menderita Neuroblastoma (salah
satu jenis kanker yang berdampak pada sistem saraf). Untuk merangsang empati, partisipan
diminta
untuk
membayangkan bagaimana perasaan Maureen tentang apa yang terjadi dan bagaimana hal itu mempengaruhi hidupnya. Peserta ditugaskan secara acak untuk berdoa atau memikirkan Maureen selama 5 menit. Setelah
itu, peserta mengerjakan
skala POM kembali, pertanyaan-pertanyaan kegiatan keagamaan, dan frekuensi berdoa partisipan. Eksperimen pertama
ini menunjukkan bahwa berdoa untuk seseorang yang membutuhkan lebih efektif dalam mengurangi kemarahan terhadap provokator dibanding
hanya memikirkan tentang seseorang yang membutuhkan.
mengenai seorang mahasiswa bernama Maureen yang menderita Neuroblastoma (salah
satu jenis kanker yang berdampak pada sistem saraf). Untuk merangsang empati, partisipan
diminta
untuk
membayangkan bagaimana perasaan Maureen tentang apa yang terjadi dan bagaimana hal itu mempengaruhi hidupnya. Peserta ditugaskan secara acak untuk berdoa atau memikirkan Maureen selama 5 menit. Setelah
itu, peserta mengerjakan
skala POM kembali, pertanyaan-pertanyaan kegiatan keagamaan, dan frekuensi berdoa partisipan. Eksperimen pertama
ini menunjukkan bahwa berdoa untuk seseorang yang membutuhkan lebih efektif dalam mengurangi kemarahan terhadap provokator dibanding
hanya memikirkan tentang seseorang yang membutuhkan.
Eksperimen kedua menguji apakah doa dapat mengurangi efek dari provokasi pada perilaku agresif aktual. Pada eksperimen
ini, terdapat 94 partisipan dimana 53 diantaranya adalah seorang wanita dan
keseluruhan pertisipan merupakan Mahasiswa Amerika. Prosedur eksperimen kedua
tidak jauh berbeda dengan eksperimen pertama. Partisipan diberitahu bahwa penelitian ini mempelajari mengenai pembentukan kesan, dan bahwa mereka akan menyelesaikan sejumlah tugas dengan partisipan lain yang akan memungkinkan mereka untuk membentuk kesan terhadap partisipan lain. Seperti pada eksperimen pertama, partisipan
diminta untuk menuliskan esai dan bertukar dengan partner “bayangan” untuk membentuk kesan terhadap partner “bayangan”nya. Tujuan sebenarnya
dari penulisan esai tersebut adalah untuk memanipulasi kemarahan.
ini, terdapat 94 partisipan dimana 53 diantaranya adalah seorang wanita dan
keseluruhan pertisipan merupakan Mahasiswa Amerika. Prosedur eksperimen kedua
tidak jauh berbeda dengan eksperimen pertama. Partisipan diberitahu bahwa penelitian ini mempelajari mengenai pembentukan kesan, dan bahwa mereka akan menyelesaikan sejumlah tugas dengan partisipan lain yang akan memungkinkan mereka untuk membentuk kesan terhadap partisipan lain. Seperti pada eksperimen pertama, partisipan
diminta untuk menuliskan esai dan bertukar dengan partner “bayangan” untuk membentuk kesan terhadap partner “bayangan”nya. Tujuan sebenarnya
dari penulisan esai tersebut adalah untuk memanipulasi kemarahan.
Pada eksperimen ini partisipan dibagi menjadi 2
bagian. Partisipan digolongkan dalam kondisi marah (provokasi) dan kondisi
tidak marah (non provokasi). Paritisipan dalam kondisi provokasi diberikan
waktu 5 menit untuk menuliskan essai tentang peristiwa yang membuatnya marah,
sedangkan partisipan dalam kondisi non provokasi (kontrol) diberikan waktu 5
menit untuk menulis esai tentang suasana kampusnya. Selanjutnya partisipan
bertukar esai dengan partner
“bayangan” untuk saling mengevaluasi esai masing-masing. Partisipan dalam
kondisi provokasi mendapatkan feed back negatif dari partner “bayangan”nya, sedangkan
partisipan dalam kondisi non provokasi mendapatkan feed back positif.
Selanjutnya partisipan diminta untuk mendoakan atau memikirkan tentang partner “bayangan” mereka, dimana
partisipan diberitahu bahwa sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa berdoa
atau memikirkan tentang seseorang memungkinkan informasi yang dikumpulkan tentang orang tersebut menjadi lebih terintegrasi.
bagian. Partisipan digolongkan dalam kondisi marah (provokasi) dan kondisi
tidak marah (non provokasi). Paritisipan dalam kondisi provokasi diberikan
waktu 5 menit untuk menuliskan essai tentang peristiwa yang membuatnya marah,
sedangkan partisipan dalam kondisi non provokasi (kontrol) diberikan waktu 5
menit untuk menulis esai tentang suasana kampusnya. Selanjutnya partisipan
bertukar esai dengan partner
“bayangan” untuk saling mengevaluasi esai masing-masing. Partisipan dalam
kondisi provokasi mendapatkan feed back negatif dari partner “bayangan”nya, sedangkan
partisipan dalam kondisi non provokasi mendapatkan feed back positif.
Selanjutnya partisipan diminta untuk mendoakan atau memikirkan tentang partner “bayangan” mereka, dimana
partisipan diberitahu bahwa sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa berdoa
atau memikirkan tentang seseorang memungkinkan informasi yang dikumpulkan tentang orang tersebut menjadi lebih terintegrasi.
Setelah menerima feed back esai dan
berdoa atau memikirkan partner
mereka, partisipan diminta untuk menyelesaikan tugas ketepatan waktu. Partisipan diberitahu bahwa tugas yang diberikan akan memberi mereka kesan terhadap pasangan mereka dalam situasi kompetitif. Partisipan diberitahu bahwa mereka dan partner mereka harus menekan tombol secepat mungkin dalam 25 kali percobaan, dan orang yang paling lambat akan menerima suara ledakan melalui headphone mereka. Sampai akhir eksperimen, terdapat 12 sampel
yang “bermasalah” karena tidak mengikuti prosedur dengan baik (1 menolak untuk
berdoa, 1 tidak mendengar instruksi
dengan baik, 2 dinilai gagal, 8 mengalami kebingungan karena bermasalah dalam
bahasa), sehingga sampel akhir eksperimen ini yaitu 83 partisipan dimana 53
diantaranya adalah wanita.
berdoa atau memikirkan partner
mereka, partisipan diminta untuk menyelesaikan tugas ketepatan waktu. Partisipan diberitahu bahwa tugas yang diberikan akan memberi mereka kesan terhadap pasangan mereka dalam situasi kompetitif. Partisipan diberitahu bahwa mereka dan partner mereka harus menekan tombol secepat mungkin dalam 25 kali percobaan, dan orang yang paling lambat akan menerima suara ledakan melalui headphone mereka. Sampai akhir eksperimen, terdapat 12 sampel
yang “bermasalah” karena tidak mengikuti prosedur dengan baik (1 menolak untuk
berdoa, 1 tidak mendengar instruksi
dengan baik, 2 dinilai gagal, 8 mengalami kebingungan karena bermasalah dalam
bahasa), sehingga sampel akhir eksperimen ini yaitu 83 partisipan dimana 53
diantaranya adalah wanita.
Efek dari doa dalam eksperimen 2 secara konseptual sama dengan experimen 1, dengan menggunakan manipulasi yang terfokus pada partisipan terhadap target lain. Dengan demikian tampak bahwa doa dapat mengatur-menurunkan impuls marah, terlepas dari apakah perhatian pada provokasi teralihkan atau tidak.
Eksperimen ketiga meneliti apakah doa dapat menghilangkan efek kemarahan pada penilaian kognitif. Partisipan
pada eksperimen ini adalah 56 mahasiswa dari sebuah Universitas Belanda, dimana
38 diantaranya adalah wanita. Seperti pada eksperimen 2, partisipan pada
eksperimen ini dibagi menjadi kondisi provokasi dan non provokasi. Pada kondisi
provokasi, partisipan menuliskan situasi mengenai hal yang dapat membuatnya
marah lalu mendapatkan kritik atas esai
yang dituliskannya dari seorang “Psikolog Terlatih”. Pada kondisi non
provokasi, partisipan menuliskan mengenai hal yang menyenangkan dan mendapatkan
apresiasi atas esai yang dituliskan dari seorang “Psikolog Terlatih”.
pada eksperimen ini adalah 56 mahasiswa dari sebuah Universitas Belanda, dimana
38 diantaranya adalah wanita. Seperti pada eksperimen 2, partisipan pada
eksperimen ini dibagi menjadi kondisi provokasi dan non provokasi. Pada kondisi
provokasi, partisipan menuliskan situasi mengenai hal yang dapat membuatnya
marah lalu mendapatkan kritik atas esai
yang dituliskannya dari seorang “Psikolog Terlatih”. Pada kondisi non
provokasi, partisipan menuliskan mengenai hal yang menyenangkan dan mendapatkan
apresiasi atas esai yang dituliskan dari seorang “Psikolog Terlatih”.
Selanjutnya peserta diberikan waktu 5 menit untuk berdoa atau berpikir tentang orang yang mereka kenal yang membutuhkan beberapa bantuan ekstra. Setelah itu, partisipan diminta untuk
mengisi skala yang diberikan. Skala tersebut berisi 10 kemungkinan peristiwa dalam kehidupan (5 negatif, 5 positif) pada skala 1 = sangat tidak mungkin hingga 9 = sangat mungkin dan diikuti dengan wawancara. Secara keseluruhan, peserta menganggap peristiwa-peristiwa
yang disebabkan oleh faktor-faktor pribadi menjadi lebih mungkin dari pada peristiwa-peristiwa
yang disebabkan oleh faktor situasional. Eksperimen
ini menunjukkan bahwa berdoa dapat menghilangkan efek provokasi pada penilaian terkait kemarahan partisipan.
mengisi skala yang diberikan. Skala tersebut berisi 10 kemungkinan peristiwa dalam kehidupan (5 negatif, 5 positif) pada skala 1 = sangat tidak mungkin hingga 9 = sangat mungkin dan diikuti dengan wawancara. Secara keseluruhan, peserta menganggap peristiwa-peristiwa
yang disebabkan oleh faktor-faktor pribadi menjadi lebih mungkin dari pada peristiwa-peristiwa
yang disebabkan oleh faktor situasional. Eksperimen
ini menunjukkan bahwa berdoa dapat menghilangkan efek provokasi pada penilaian terkait kemarahan partisipan.
Ketiga eksperimen tersebut menunjukkan bahwa berdoa dapat mengurangi
kemarahan, perilaku agresif dan bahkan menghilangkan efek kemarahan pada penilaian kognitif. Hasil
tersebut juga yang menunjukkan bahwa praktik keagamaan dapat meningkatkan kerjasama antara
orang-orang yang tidak memiliki hubungan apapun atau dalam situasi dimana
hubungan timbal balik akan sangat tidak mungkin terjadi. Berdoa efektif dalam memenangkan kemarahan dan
agresi hanya jika doa itu bersifat baik. Doa yang menyimpan kebencian dan
dendam, dibandingkan dengan merubah pandangan seseorang terhadap emosi negatif,
justru cenderung meningkatkan kemarahan dan agresi.
kemarahan, perilaku agresif dan bahkan menghilangkan efek kemarahan pada penilaian kognitif. Hasil
tersebut juga yang menunjukkan bahwa praktik keagamaan dapat meningkatkan kerjasama antara
orang-orang yang tidak memiliki hubungan apapun atau dalam situasi dimana
hubungan timbal balik akan sangat tidak mungkin terjadi. Berdoa efektif dalam memenangkan kemarahan dan
agresi hanya jika doa itu bersifat baik. Doa yang menyimpan kebencian dan
dendam, dibandingkan dengan merubah pandangan seseorang terhadap emosi negatif,
justru cenderung meningkatkan kemarahan dan agresi.
Referensi:
- Bremner, R. H., Koele, S. L., & Brushman, B. J. (2011). Pray for Those Who Mistreat You: Effects of Prayer on Anger and
Aggression. Personality and Social Psychology Bulletin,
37: 830-837. DOI:
10.1177/0146167211402215 - Winch, G. (2013). Study Shows Prayer Reduces
Anger and Aggression. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/blog/the-squeaky-wheel/201305/study-shows-prayer-reduces-anger-and-aggression