LPM Psikogenesis

LPM Psikogenesis
LPM Psikogenesis

Kakek Tua Di Bangku Taman

follow:
Cerpen oleh: Siti Maryam Ramadani
Sumber foto: pixabay.com
“Duduklah di sini Riva, Mama akan membelikanmu
makanan. Tidak lama kok, tokonya di seberang sana”

“Iya Ma” jawabku.

Dan seperti inilah aku, Mama meninggalkanku di
sebuah bangku taman sendirian dengan sebotol air mineral di tanganku dan sebuah
handphone kecil di sakuku untuk
jaga-jaga apabila sesuatu terjadi. Aku memandang lurus ke depan, namun tak ada
yang tertangkap oleh mataku. Gelap. Kosong. Hampa.

Sungguh hanya satu kata yang paling jelas untuk
menggambarkan diriku, buta. Dapat kurasakan jenjang kaki yang berlalu-lalang
dihadapanku. Anak-anak kecil yang tertawa riang tidak jauh dariku dan juga
deruh kendaraan dengan samar-samar. Aku bertanya-tanya apa mereka memperhatikan
gadis 16 tahun  yang sedang duduk disini
sendirian.

Seseorang duduk di bangku yang sama denganku, aku
waspada.

“Halo, boleh duduk disini? Tidak menggangu, kan?”
suaranya terdengar agak berat dan  parau.

“Bapak siapa?”

“Maaf, hanya seorang Kakek tua yang sedang
beristirahat”

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa.

“Sedang apa disini, nak?”

“Menunggu ibuku, ia sedang ke toko di seberang sana”

“Dan meninggalkan seorang gadis buta sepertimu
disini? Ku kira itu tidak terlalu bagus”

Aku tercengang, bagaimana ia tahu aku buta? Ya,
mungkin hal itu terlalu mudah untuk ditebak. “Aku sudah terbiasa, ini juga
merupakan tahap untuk jadi mandiri bagiku. Aku tidak ingin selalu menyusahkan
orang lain”

“Hahahahaha” Kakek itu tertawa. Aku tidak suka, apa
ia menertawakanku? 
“Hahaha, anak di dekat kolam itu terjatuh dari
sepeda” ia masih terkekeh

“Oh” aku bahkan tidak tau dimana anak itu dan
seperti apa sepedanya ataupun bagaimana ia terjatuh. “Aku iri dengan
orang-orang normal yang bisa melihat” kutarik bibirku agar tersenyum, entah kakek
itu melihatnya atau tidak.

“Terkadang orang sepertimu jauh lebih istimewa dari
orang normal biasanya”

“Belum pernah aku merasa begitu istimewa di dunia
ini, Kek”

“Dunia ini indah, sangat indah. Kita sama-sama
menikmatinya. Hanya saja dengan cara yang bebeda. Dunia ini pahit, sangat
pahit. Ada begitu banyak penderitaan dari berbagai sisi. Bapak sudah merasakan
banyak rasa di dunia ini dan percayalah tak ada yang lebih baik dari tidak
pernah mengetahui bagaimana dunia ini. Bapak menghargai hidup di dunia ini,
hanya saja dunia yang tidak menghargaiku”

Aku terdiam lagi setelahnya, sedang mencerna
kata-kata Kakek barusan. Apa benar yang ia katakan tadi? Apa dunia begitu kejam
untuk aku membuka mata dan menyelaminya satu persatu? Aku merasa ciut, aku
terlalu lemah.

“Aku punya roti, apa kau mau gadis muda?”

“Tidak Kek. Terima kasih, hehehe, Ibuku sedang
membeli beberapa makanan untukku. Namaku Riva”

“Oh begitu. Nama yang bagus, senang berkenalan
denganmu Riva” Aku hanya tersenyum, kurasa itu sudah cukup sebagai salam
perkenalan.
**
“Jangan dekati anakku dengan tangan kotormu, Pak
tua!”

Aku mendengar suara Ibu, dapat kurasakan nada marah
dari suaranya. Ia meraba-raba tubuhku untuk mengecek apa aku baik-baik saja.
Aku bingung, belum pernah ia semarah itu saat orang lain berada di dekatku. Apa
Kakek tadi berniat menjahatiku? Tidak, tidak. Dia baik dan ramah dari bicaranya
.
“Ayo pergi Riva, lain kali berhati-hatilah saat
orang lain menghampirimu”

“Bagaimana aku tahu Ibu? Aku tidak bisa melihat
mereka”

“Suatu hari nanti kau akan bisa melihat Riva, seseorang
yang baik akan mendonorkan mata untukmu. Dan pada akhirnya kau bisa membedakan
mana orang baik dan jahat”

Ibu mengelus rambutku dan mencium keningku dengan
lembut. Aku menyayanginya.
Aku mulai berpikir, apa tolak ukur baik buruknya seseorang?
Benarkah Kakek tadi berniat jahat padaku? Aku tidak percaya, karena hatiku
berkata lain. Aku dapat merasakan tutur kata yang baik dan ramah darinya.
Apakah mata seperti itu? Tidak dapat melihat mana yang baik dan buruk?
Mungkinkah? Aku tidak percaya, aku iri mereka dapat melihat hal-hal nyata yang
ada di depan mereka. Berbeda denganku yang hanya dapat merasakan dengan hati.
Ah, aku tidak sabar ingin segera melihat dengan mataku sendiri. Melihat bentuk,
wajah orang lain, sungai, pohon, burung yang terbang dan langit yang biru.

**

Di sisi lain, Kakek tua tadi masih duduk termenung
di tempat ia bicara dengan Riva beberapa saat yang lalu. Ia mengelus-elus betis
kirinya yang merupakan kaki plastik buatan.

Tidak lama ia pun berdiri dan memegang sebungkus
roti yang sempat ia ingin bagi dengan Riva, kemudian berjalanlah ia ke kiri di
atas batu-batu taman. Sesekali menengok orang lain yang lewat di dekatnya
dengan matanya yang hanya berfungsi satu karena yang satunya sudah cacat sejak
lahir. Kulitnya menghitam terbakar cahaya surya dengan beberapa luka bekas
memar akibat kerja keras. Orang-orang yang melihatnya selalu bertampang jijik.
Karena memang seperti itulah, mata ini hanya bisa melihat apa yang terlihat
nyata.

psikogenesis.org

psikogenesis.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Air Kotak, Matcha, dan Jurnalis

Ilustrasi Air Kotak, Matcha, dan Jurnalis Sumber: Pinterest BARISTA MEMILIKI STOK BARANG BARU! itulah headline berita yang menggemparkan. Bagaimana tidak?