LPM Psikogenesis

LPM Psikogenesis
LPM Psikogenesis

Merelakan Yang Tak Pernah Ada

follow:

Sumber: Pinterest

Nia duduk di tepi jendela kamar, menatap langit senja yang perlahan berubah gelap. Sudah sebulan berlalu sejak terakhir kali dia dan Ali berbicara. Bukan berarti mereka bertengkar atau ada masalah besar yang memisahkan mereka, hanya saja, komunikasi di antara mereka tiba-tiba terhenti begitu saja.

Selama dua tahun terakhir, Nia selalu menjadi pihak yang pertama kali menghubungi Ali. Sejak awal, dia yang menyukai Ali lebih dulu. Setiap pagi, pesan singkat darinya akan muncul di ponsel Ali, menanyakan kabar, atau hanya sekadar mengirimkan gambar lucu yang dia pikir akan membuat Ali tersenyum. Ali akan membalas dengan singkat, kadang dengan candaan, kadang hanya dengan emoji, tetapi itu cukup bagi Nia. Dia merasa senang, bahkan ketika hanya mendapatkan sedikit perhatian dari Ali.

Namun seiring berjalannya waktu, Nia mulai merasa lelah. Setiap pesan yang dia kirim terasa semakin berat, bukan karena dia tidak ingin menghubungi Ali, tetapi karena dia mulai menyadari bahwa perasaannya mungkin tidak pernah sepenuhnya dibalas. Ali jarang sekali menghubunginya lebih dulu, seolah-olah dia hanya ada di sana ketika Nia memanggilnya. Meski demikian, Nia tetap bertahan. Dia takut jika berhenti, hubungan mereka akan hilang begitu saja.

Dan itulah yang terjadi. Sejak Nia memutuskan untuk tidak lagi mengirim pesan lebih dulu, mereka terjebak dalam kebisuan yang canggung. Tidak ada lagi sapaan pagi dari Nia, dan tidak ada upaya dari Ali untuk mencari tahu mengapa. Diam-diam, Nia berharap Ali akan menghubunginya, menanyakan kabar atau sekadar berbicara seperti biasa. Namun harapan itu semakin pudar seiring waktu. Ali tampak baik-baik saja tanpa kehadirannya, seolah-olah Nia tidak pernah benar-benar penting dalam hidupnya.

Hari ini adalah ulang tahun Nia. Seharusnya hari ini menjadi hari yang spesial, hari di mana dia mendapatkan doa dan harapan baik dari orang-orang yang berarti baginya. Namun dari pagi hingga malam, tidak ada pesan dari Ali. Ponselnya sepi dari notifikasi yang paling dinantikannya.

Saat malam tiba, Nia akhirnya menyerah pada kenyataan yang selama ini dia coba abaikan. Di sinilah, di momen yang seharusnya penuh kebahagiaan, Nia merasakan kesedihan yang paling dalam. Bukan karena Ali tidak mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi karena dia menyadari bahwa dirinya tidak pernah benar-benar ada dalam hidup Ali. Mungkin Ali lebih bahagia tanpa dirinya, tanpa tekanan atau harapan yang Nia tanpa sadar letakkan di pundaknya.

Dengan berat hati, Nia menatap ponselnya untuk terakhir kali sebelum meletakkannya di meja samping tempat tidur. Malam ini, dia memutuskan untuk melepas semua yang selama ini dia pegang erat. Perasaannya pada Ali, harapannya untuk masa depan, dan keinginan agar Ali merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan. Nia tahu, dia harus belajar merelakan. Dan dengan begitu, dia bisa memulai ulang hidupnya tanpa bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.

Nia menarik napas panjang, lalu memejamkan mata. Mungkin, ini saatnya dia belajar mencintai dirinya sendiri lebih dulu, sebelum berharap orang lain bisa melakukan hal yang sama.

~Rain

psikogenesis.org

psikogenesis.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts