Awalnya semua berjalan seperti biasa. Kau ajak aku berbicara karena mungkin aku tampak kebingungan di tengah keramaian. Tapi awalan yang kau buat masih tak berdampak apa-apa bagiku, yang sudah lama tak berdebar.
Pertanyaan singkat yang kau tanyakan menjadi pondasi pertama pertemanan kita. Iya hanya berteman kala itu.
Sampai beberapa perhatian yang kau berikan membuatku jatuh, Iya jatuh.
Aku jatuh setelah teguh pada pendirian ku.
Kau menarik ku dari gelap yang amat sangat menakutkan, dengan ucapan “Dengan aku saja” ucapan itu sebagai awalan membuat hatiku berdebar.
Tapi aku masih saja mengelak, bahwa perasaan ini hanyalah perasaan senang sesaat, iya senang ketika kau mengajak ku mengelilingi kota ini.
Untuk kali keduanya kau mengajak ku ke suatu tempat yang indah. Aku memang anak rumahan yang sangat suka pergi ke suatu tempat yang indah jika ada yang mengajak ku, tentu saja aku setuju.
Debaran jantung ku tak kalah riuh dari padatnya jalan sore kala itu. Seandainya hanya ada kita berdua, mungkin kamu juga dapat mendengarnya.
Naif jika ku katakan aku tak merasa kamu anggap spesial. Nyatanya di sana ada banyak orang yang bisa kamu ajak selain aku. Banyak orang yang bisa kamu khawatirkan selain aku, tapi nyatanya kamu memilih ku.
Apa mungkin ini bisa jadi awalan kamu dan aku untuk jadi kita?
— Kamilula