Ilustrasi Yang Terbaik
Sumber: Dok. Pribadi
Malam yang sejuk menemani kesepianku yang saat ini berada di balkon kamar.
Pandanganku tertuju pada langit tua, memandangi bulan dan bintang yang mulai memudar karena tertutup awan hitam.
“Hari yang melelahkan” ucapku seraya menikmati hembusan angin malam yang turut hadir dalam keheningan ini.
Hari ini merupakan hari kelulusanku. Hari yang telah dinanti-nantikan oleh teman angkatanku yang selama ini telah menjalani kehidupan mereka di bangku SMA. Mereka merayakan kelulusan dan kemenangannya dengan suasana hati yang begitu gembira dan mungkin telah mempersiapkan berbagai bekal untuk dapat mencapai impian mereka yang selanjutnya.
Sedangkan Aku?
Entahlah, Aku juga tidak tahu. Berkonflik sendiri dengan pikiran serta perasaan membuatku semakin bingung untuk dapat menetapkan suatu tujuan. Belum lagi tekanan di sekitar membuatku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Seringkali juga Aku berpikir, mengapa kehidupanku tak seindah dengan kehidupan orang lain?.
Angin malam yang berhembus membuatku tersenyum walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali Aku menghapus air mataku yang juga ikut terjatuh tanpa permisi.
Tapi seberapa berat dan semenderitanya peristiwa yang kita jalani, bukan berarti kita harus mengakhiri hidup, bukan?
TOK..TOK..TOK..
Terdengar suara pintu yang diketuk dari luar.
“Naina, boleh ke bawah dulu? Ayah dan Ibu ingin bicara sebentar,” suara wanita memanggil namaku yang tak lain merupakan suara Ibuku.
“Baik Bu,” jawabku.
Aku berjalan menuruni tangga dengan perasaan yang campur aduk. Pikiranku tak tenang. Lagi, lagi, dan lagi Aku harus menghadapi hal ini
.
“Oke, tenang Naina, bersikaplah seperti biasanya,” gumamku menenangkan diri dengan senyum kecut yang tanpa sengaja terbit di wajahku.
Terlihat di ruang tamu Ayah dan Ibuku sedang berbincang-bincang dengan wajah yang serius sembari menunggu kehadiranku.
“Ayah tidak ingin memikirkannya lagi? Bagaimana jika Naina tidak setuju?” samar-samar terdengar suara cemas Ibuku di tengah perbincangannya.
“Ada apa, Ayah, Bu?” tanyaku kepada Ayah dan Ibu saat Aku telah menghampiri keduanya.
Keheningan tercipta sementara. Ayah dan Ibuku saling beradu tatap selama beberapa detik hingga mengalihkan pandangannya ke arahku.
Aku menelan saliva ku susah payah. Hatiku tidak tentram. Jantungku berdegup kencang dengan tanganku yang telah mengepal. Seakan-akan sudah tahu apa saja yang akan orang tuaku persoalkan kali ini.
Aku menghela nafas, lalu menatap hangat wajah kedua orang tuaku.
“Kenapa Ayah dan Ibu memanggilku?” tanyaku kembali kepada keduanya.
Ayah, Ibu, dan Aku berbincang serius di ruang tamu. Beberapa kali Aku menghela nafas berat di tengah perbincangan itu.
Selang beberapa menit Aku dan kedua orang tuaku selesai berbincang. Aku pun bangkit dari kursi dan segera beranjak untuk kembali ke kamarku.
“Pikirkan baik-baik Naina, Ayah harap kamu tepat dalam mengambil keputusan,” ucap Ayahku yang masih duduk di kursinya. Aku hanya menampilkan senyum hangat kepadanya tanpa mengucapkan sepatah kata.
Sesampainya di kamar, Aku hanya diam termenung. Memikirkan sebuah persoalan lama yang membuatku dilema. Dari kecil hingga sekarang hidupku selalu diiringi dengan tuntutan dan terkadang kenyataan itulah yang membuatku stres dalam menjalani hidup.
Ketika ditanya tentang cita cita, impian, maupun rencana masa depan apakah Aku punya?
Jujur saja “Ya”, Aku punya. Tapi Aku masih bingung, ragu, dan takut untuk memikirkannya. Takut kecewa akan harapan yang nantinya tidak sesuai kenyataan, dan takut apabila apa yang diinginkan tidak sesuai dengan rencana.
“Kamu harus kerja!”
Perkataan Ayahku yang masih saja terngiang jelas di telingaku.
Jauh di dalam lubuk hatiku tetap saja Aku sangat ingin untuk melanjutkan kuliah. Namun, berbanding terbalik dengan keinginan kuat orang tuaku yang menginginkan agar Aku lebih baik bekerja saja.
Aku sempat membantah serta menolak dan berkata ingin melanjutkan kuliah, tetapi mereka dengan tegas menentangnya hingga membuatku terduduk lesu di malam itu.
Penjelasan apapun yang kuberikan, sama sekali tidak dihiraukan oleh keduanya. Kecewa rasanya.
Aku tahu, Aku terlahir dari keluarga yang tidak terpandang. Sangat berbeda dengan beberapa keluargaku yang ada di luar sana. Namun apa salah Aku berharap? Berharap untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi.
Aku sangat menyayangi orang tuaku. Aku juga merupakan seorang anak yang pastinya ingin membuat kedua orang tuanya bangga dengan pencapaian. Gelar dari hasil perkuliahan merupakan salah satu jalan agar Aku dan keluargaku tidak lagi dipandang remeh. Aku ingin membuktikan bahwa Aku yang berasal dari keluarga yang sederhana ini juga dapat memutus rantai kemiskinan keluarga dan membuktikan kepada orang-orang bahwa Aku bisa.
Akan tetapi, dengan keadaanku saat ini, mungkin harapanku untuk berkuliah belum bisa terpenuhi sekarang. Sangat banyak beasiswa yang dapat Aku cari untuk dapat berkuliah. Namun, sangat tidak mungkin juga bagiku melanjutkan kuliah tanpa restu dari kedua orang tuaku.
Ayah dan Ibuku sangat menyayangiku dan Aku tahu itu. Oleh karena itu, Aku akan mencoba untuk mengabulkan permintaan keduanya. Karena bagaimanapun juga bahagiaku terdapat pada senyum yang senantiasa terpancar di wajah mereka.
Kuliah? Hal itu pasti akan Aku wujudkan suatu saat. Karena bagiku, keputusan dari kedua orang tuaku saat ini merupakan keputusan yang terbaik.
Doa yang senantiasa dipanjatkan oleh orang tua kepada anaknya juga merupakan jalan yang terbaik, yang di mana Aku tidak bisa mengelakkan kenyataan tersebut. Siapa lagi yang mereka harapkan kalau bukan kita, anaknya.
“Naina, kamu pasti bisa.” ungkapku dengan batin yang meyakinkan.
ARV