LPM Psikogenesis

LPM Psikogenesis
LPM Psikogenesis

Membangun Kepatuhan Manusia Baru dengan Tradisi Lama

follow:

Victor Matanggaran mahasiswa angakatan 2011 Fakultas Psikologi (FPsi)
Universitas Negeri Makassar (UNM) Mengambil jurusan Psychology
Conflict, Risk and Safety di University of Twente
Sumber : Dokumen Pribadi

Patuhi
atau Ikuti? Pertanyaan yang cukup sederhana tetapi sesungguhnya berakar dari
dinamika kelompok yang kompleks. Dalam kelompok atau teamwork sekalipun, semua
pemimpin kelompok, baik itu kepemimpinan personal maupun distibutif,
membutuhkan dua hal tersebut, keikutsertaan dan kepatuhan, dari pengikutnya
untuk dapat bekerja dengan efektif. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
kita mendapatkannya? Apakah metode yang kita lakukan sudah tepat?
Fakultas
Psikologi UNM memiliki budaya yang unik yang juga mungkin tidak terlepas dari latar
belakang ilmu yang diperoleh mahasiswanya dalam bidang psikologi untuk mengader
pendatang baru (baca: mahasiswa baru). Penggunaan “Jas Almamater” sebagai salah
satunya, adalah budaya Fakultas Psikologi UNM untuk membangkitkan rasa cinta
pada kampus dan seluruh civitas akademika. Ketika menjadi mahasiswa baru di
tahun 2011, saya adalah salah satu orang yang patuh pada aturan ini karena ada
manfaat yang didapatkan secara personal. Salah satunya adalah ketika lupa
menyetrika kemeja atau mungkin kemeja yang kotor, jas almamater bisa
menutupinya. Namun dibalik manfaat positif, ada pula tantangan seperti rasa
gerah dan durasi penggunaan satu tahun yang sangat berat untuk dijalani.
Berangkat dari fakta bahwa setiap program yang kita jalankan tidak sempurna dan
mungkin tidak sesuai dengan kondisi yang ada, maka keterbukaan terhadap kritik
dan evaluasi adalah suatu keharusan.
Efek
asimetris dari kritik-mengkritik menjadi salah satu masalah di kalangan
mahasiswa. Mahasiswa selalu ingin didengar ketika mengkritik birokrasi kampus
bahkan pemerintah tetapi tidak jarang mahasiswa menutup telinga ketika
dikritik. Hal ini juga terjadi ketika mahasiswa baru fakultas psikologi UNM
mencoba mengevaluasi atau mengkritik kebijakan penggunaan jas almamater oleh
BEM fakultas psikologi UNM. Masalah yang sebenarnya bukanlah pada benar atau
salah, baik atau buruk, bermanfaat atau merugikannya penggunaan jas almamater,
melainkan adanya kesan mengabaikan kritik dan memaksakan kehendak kepada target
kebijakan. Masalah penggunaan jas almamater bukan saja terjadi di tahun 2017
namun sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, termasuk yang saya alami
di tahun 2011. Kesalahan kita sebagai pembuat kebijakan adalah menutup mata dan
telinga terhadap fakta bahwa kita telah merenggut hak kenyamanan belajar
mahasiswa baru dengan memaksakan menggunakan jas almamater berbulan-bulan dan
tidak berusaha mengubahnya dengan berdalih itu sudah tradisi atau budaya.
Faktanya, budaya ini nyaris tidak relevan dengan kondisi mahasiswa jaman
sekarang yang moralitasnya dibangun atas dasar budaya kesetaraan dan
keterbukaan. Sudah sepatutnya kepemimpinan saat ini dilaksanakan secara
demokratis, mendengar lebih banyak dan mengakomodir lebih banyak bukan
sebaliknya terkesan menekan, memaksa, dan/atau bahkan menghukum.
Para
penguasa dalam konteks ini adalah senior yang ada di lembaga kemahasiswaan yang
membuat aturan. Dapat dipahami bahwa penggunaan jas almamater adalah salah satu
cara membangun kedisiplinan atau “kepatuhan” di kalangan mahasiswa baru namun
cara ini bukanlah “soft tactic” yang dapat diterima semua orang. Membatasi
kebebasan seseorang untuk dapat melepas jas almamater dengan durasi yang
panjang adalah salah satu bentuk pelanggaran atas kebebasan mahasiswa baru
untuk mendapatkan kenyamanan belajar dan beraktivitas. Terlebih lagi, jika
kepatuhan menggunakan jas almamater dijadikan standar atau alasan untuk
menyalahkan perilaku atau pihak-pihak tertentu dan menghukumnya. Saya harus
dengan tegas mengatakan bahwa cara ini bukanlah cara yang tepat di zaman
sekarang bahkan mungkin sudah ketinggalan. Cara yang baik dalam menggunakan
power untuk membuat orang lain mengikuti sebuah aturan adalah dengan cara yang
membangun dan mengakomodir rasionalitas. Cara yang rasional seharusnya dapat
diterima oleh akal sehat, tidak menimbulkan pro-kontra (perlawanan dari
mahasiswa baru) dan dibangun atas kesepakatan bersama, bukan atas dasar tradisi
belaka. Itulah sebabnya kreatifitas mahasiswa dibutuhkan dalam meng-upgrade semua kurikulum pendidikan dan
pengaderannya agar tidak menggunakan cara yang lama secara terus menerus. Taktik
yang baik juga bukan mengucilkan orang-orang yang tidak mematuhi aturan,
melainkan merangkul dan mengakomodir kebutuhan mereka. Kekhawatiran saya adalah
kita tidak akan sampai pada penerapan pendidikan yang baik kepada mahasiswa
baru, dilihat dari perlawanan mereka, melainkan mungkin kita sudah mem bully
mereka. Ingat bahwa bully bukan hanya ketidaknyamanan yang dirasakan secara
fisik melalui kekerasan fisik tetapi juga pengucilan, serangan verbal dan
ketidaknyamanan psikologis lainnya. Bully adalah bentuk penggunaan power
sebagai senior, yang merasa berhak, memaksakan kehendaknya kepada orang lain
(mahasiwa junior) dengan cara-cara yang menimbulkan ketidaknyamanan. Semoga
kekhawatiran saya ini tidak terbukti.
Hal
esensial yang diabaikan adalah sebagai regulator, pengurus organisasi sebagai
otoritas di kalangan mahasiswa adalah lupa bahwa kepemimpinannya seharusnya dari, oleh
dan untuk mahasiswa, khususnya mahasiswa baru yang mendapatkan lebih banyak
treatment. Harapan kita untuk menumbuhkan daya kritis yang seharusnya dibangun
di kalangan mahasiswa baru justru sebaliknya tenggelam dalam ketakutan dan
keseganan mereka karena disebut melawan tradisi dan senior. Sudah saatnya kita
tidak terpolarisasi dengan perilaku mahasiswa baru yang dianggap tidak
menghormati senior atau tidak menghargai tradisi. Berhentilah berdiskusi dengan
orang-orang yang punya sudut pandang yang sama mengenai masalah ini. Sebagai
teamwork yang baik, diskusi yang sehat adalah diskusi yang menghadirkan
alternatif lain, sudut pandang lain dan bisa menerimanya bukan justru menjadi
anti pada perubahan. Manusia sekarang dilahirkan
di zaman yang berbeda. Mereka membangun moralitas sendiri. Kita tidak dapat
memaksakan moral kita kepada mereka yang punya sudut pandang lain. Tantangan
kita saat ini adalah mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan, mencari
cara yang tepat dan kreatif untuk mengader mereka yang datang dari latar
belakang yang berbeda. Ingatlah bahwa indikator belajar adalah perubahan, jika
kita tidak berubah mungkin kita belum belajar. 

Enschede, 5 November
2017
Penulis Victor Matanggaran
psikogenesis.org

psikogenesis.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Air Kotak, Matcha, dan Jurnalis

Ilustrasi Air Kotak, Matcha, dan Jurnalis Sumber: Pinterest BARISTA MEMILIKI STOK BARANG BARU! itulah headline berita yang menggemparkan. Bagaimana tidak?

Endless

Ilustrasi Endless Sumber: Dok. Pribadi We once wove a thousand dreams, with hands entwined, firm and true, like a painting