LPM Psikogenesis

LPM Psikogenesis
LPM Psikogenesis

Secangkir Kopi di Pagi Hari

follow:
Sumber: merdeka.com

     Di dunia yang kacau balau saat ini, hampir sebagian besar orang
hanya ingin membaur dengan hiruk-pikuk kehidupan mewah dan berkelas. Menganut
segala jenis kebudayaan barat yang menurutnya elegan dan kekinian. Mulai dari
gaya berpakaian, pergaulan hingga gaya sarapan ala western. Saya sendiri lebih
menyukai kehidupan ala kampung halaman saya. Dimana pakaian termahal adalah
pakaian yang menutup aurat, interaksi yang baik adalah komunikasi secara
langsung dan sarapan pisang goreng bersama secangkir kopi. 
     Satu-satunya hal yang
saya senangi dari pengaruh budaya barat yang sampai di kampung halaman saya adalah
kebiasaan meminum kopi di pagi hari. Saya menganggap kopi merupakan produk
pertanian luar biasa yang menjadi sarana untuk memulai percakapan di pagi hari
bersama matahari dan udara segar. Walaupun tak jarang hujan ingin ikut mencicipi
secangkir kopi di pagi hari yang saya buat. 
     Saya senang menghitung pagi yang
telah saya lalui bersama secangkir kopi di pagi hari. Ini adalah pagi yang
ke-2303 saya menikmati secangkir kopi di kampung halaman saya dan pagi pertama
secangkir kopi saya tidak didampingi sepiring pisang goreng. Sepertinya pohon
pisang di halaman belakang rumah sudah terlalu tua untuk berbuah. Sejak bulan lalu,
daunnya mulai menguning tiap kali saya mandi dan berbagi seember air dari sumur
dengannya. Saya pikir air di sumur tua itu ikut menuakan saya dan pohon pisang di
halaman belakang rumah. Ya, sayapun sudah terlalu tua untuk tinggal di kampung
halaman.
     Seminggu kemudian pohon pisang di halaman belakang rumah saya
mati. Saya kemudian mulai mempertimbangkan tawaran teman saya seminggu lalu.
Teman saya yang sudah lebih dulu meninggalkan kampung halaman datang membawa
kabar yang entahlah, saya sendiri tidak bisa menggolonglan itu buruk tapi tidak
juga baik. Teman saya itu bekerja di sebuah kedai kopi ternama, dan kabar yang
ia bawa adalah kedai kopi tempatnya bekerja baru saja membuka beberapa cabang
dan sedang melakukan recruitment besar-besaran. Ia mengajak saya untuk mencoba
bergabung. Menurutnya, saya bukanlah penikmat kopi yang baik jika hanya membuat
secangkir kopi untuk diri saya sendiri. 
     Mencoba memantapkan niat, saya mengirim
surat lamaran saya pada kedai kopi ternama tempat teman saya bekerja itu.
Setelah mengirim, setiap pagi, selain menikmati secangkir kopi, ada hal baru
yang saya lakukan. Menunggu penguman. Menunggu membuat secangkir kopi saya
terasa hambar ditambah lagi kepergian ibu dari pisang goreng yang biasanya mendampingi
secangkir kopi di pagi hari saya. Hingga suatu pagi, saya mendapat sebuah
amplop dari seorang kurir. Berwarna coklat dengan ukuran F4 dan di luar
amplopnya terdapat sebuah logo serta nama saya. Dengan perlahan saya membalik
dan membuka amplop tersebut. Dan sungguh, kebahagian tiba-tiba datang bersama
dengan pengumuman diterimanya saya di kedai kopi ternama tersebut. Selain pengumuman,
amplop itu berisi sebuah perjanjian dimana saya dituntut untuk bersedia berbagi
kebaikan antar pewagai dan pelanggan. Saya menertawakan isi amplop tersebut. Lucu
rasanya, jika hanya berbagi kebaikan saya di suruh untuk berkomitmen. Namun tiba
pada saat saya bekerja di kedai kopi ternama itu, saya menemukan banyak hal. 
     Jika
tiap pagi yang saya lakukan hanyalah menyediakan secangkir kopi untuk saya
sendiri, kali ini, saat berstatus pegawai di kedai kopi ternama, saya harus
menyediakan bercangkir-cangkir kopi setiap paginya untuk tiap-tiap orang yang
berbeda. Tiap cangkir kopi yang saya sajikan memberikan pelajaran yang sangat
berarti bagi saya. 
     Cangkir pertama mengajarkan saya tentang memulai percakapan
dengan secangkir kopi bersama matahari menjadi rutinitas menyenangkan kedua setelah
memulai percakapan dengan secangkir kopi bersama seorang gadis pengonsumsi kopi
di pagi hari. Cangkir kedua menyadarkan saya betapa kunjungan gadis itu adalah hal
yang paling saya nantikan. Kemudian cangkir ketiga mengajarkan saya bahwa dalam
bahasa apapun, nama adalah hal yang akan selalu terdengar manis dan paling
penting. Dan, yah, nama gadis itu Mentari. Di cangkir berikutnya, saya belajar
cara mencintai yang baik dengan cara berbagi secangkir kopi di pagi hari.
Rasanya tidak penting berapa juta cangkir kopi yang telah berhasil terjual, jika
saja kopi yang saya sajikan tidak sesuai, mana mungkin Mentari kembali lagi
menikmati secangkir kopi di pagi hari.

Karya : Azizah Ramadani (2015)
psikogenesis.org

psikogenesis.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Air Kotak, Matcha, dan Jurnalis

Ilustrasi Air Kotak, Matcha, dan Jurnalis Sumber: Pinterest BARISTA MEMILIKI STOK BARANG BARU! itulah headline berita yang menggemparkan. Bagaimana tidak?

Endless

Ilustrasi Endless Sumber: Dok. Pribadi We once wove a thousand dreams, with hands entwined, firm and true, like a painting